
“Hidup penuh pilihan seru, kamu malah mematikan pilihanmu sendiri.” (hlm. 12)
Ini napak tilas terakhir, begitu alasan Awang. Setelah ini, dia tidak akan melakukannya lagi. Tiga tahun sudah cukup untuk terpuruk. Setiap hari ulang tahun Nanda, Awang selalu menyempatkan waktu di akhir pecan untuk melakukan itu. Touring menggunakan sepeda motor dengan rute Jakarta-Jogja. Menikmati waktu berdua, mampir ke tempat-tempat yang menjadi kenangan. Sudah putus dengan Nanda pun, Awang masih melakukannya. Berharap mungkin mereka akan bertemu di jalan, untuk sekedar tahu bagaimana dia sekarang. Kedengarannya memang bodoh dan sia-sia, tapi kadang nalar memang tidak jalan. Apalagi, cinta memang sering tak sejalan dengan nalar.
“…jadi cowok yang jelas, dong. Pacar ya pacar, teman ya teman, selingkuh ya selingkuhan.” (hlm. 10)
Rasa yang terbelah itu penyakit. Semakin lama semakin parah dan menyiksa. Dikejar rasa bersalah, tapi ditundukkan rasa maklum. Mencari pembenaran atas perlunya persinggahan. Jalan begitu jauh, sekali waktu beristirahat dari hubungan yang panjang rasanya wajar. Kalau di saat seperti itu ada sesorang yang singgah menghibur lelah hati, rasanya tidak apa-apa. Hanya sekadarnya saja. Toh setelah istirahat selesai, perjalanan akan dilanjutkan.
Tapi rasanya selama di persinggahan ini, Kejora lupa meminta hatinya utuh kembali. Wajah terakhir yang ingin dilihatnya adalah wajah Awang. Dia sama sekali tidak menyadari gelombang apa yang dikirmkannya kepada Kejora dengan tatapan mata dan senyuman yang seperti itu.
“Jodoh itu kadang nggak bisa direncanakan.” (hlm. 176)
Begitulah pertemuan Awang dan Kejora. Mereka dipertemukan secara tak sengaja. Hingga takdir membawa mereka untuk memilih logika atau hati. Suka dengan kalimat dalam buku ini. Gak ada kesan gombal berlebihan. Kadang pertemuan antara Kejora ama Awang bikin senyum-senyum sendiri… (ˇ▼ˇ)-c
Beberapa kalimat favorit:
- “Dalam hidup kadang seperti itulah yang terjadi. Apa yang diinginkan dikalahkan oleh apa yang harus dilakukan.” (hlm. 231)
- “Kupikir kita sudah sepakat kalau hubungan kita nggak perlu diberi label tertentu. Kita punya komitmen, itu sudah sangat jelas, mau bentuk seperti apa lagi? Pacar, tunangan, itu hanya istilah. Tidak ada bedanya dengan teman dekat.” (hlm. 276)
- “Menikah itu nggak main-main. Rahasia nggak selamanya menjadi rahasia. Semua rahasia pasti ada saatnya terbongkar.” (hlm. 299)
Suka ama novel ini. Seperti judulnya; SEMPURNA. Suka ama tokoh Awang, laki banget! \(´▽`)–(´▽`)/
“Terus terang pada awalnya aku benar-benar merasa terganggu olehmu. Datang tiba-tiba dalam hidupku, membuat kekacauan, lalu kau pergi begitu saja meninggalkan kebingungan. Aku tidak mau, tapi kau tidak juga mau pergi dari kepalaku. Aku sudah meyakinkan diriku sendiri kalau kau hanyalah intermezzo. Pelarian. Tak kusangka hatiku juga kau bawa lari.” (hlm. 306)