
Iqbal bersama keluarga Firman dan rekan-rekannya selama berkelana di Banjarnegara menuju Pesantren Tegal Jadin. Di pesantren itu ada misi yang hendak ia laksanakan. Ia hendak mempersunting seorang santriwati. Namun, ia sebenarnya masih ragu, siapakah sebenarnya yang ingin ia persunting. Zaenal, Priscillia, atau Khaura, ataukah ketiganya sekaligus.
Di tengah-tengah kebimbangannya, ia dihadapkan pada kematian seniornya, Rahmat. Pria itu meninggal setelah mengalami derita batin yang cukup parah. Ia merasa amat berdosa pada iqbal. Ia merasa gara-gara sikapnya Iqbal terusir dari Tegal Jadin tiga tahun lalu.
Duka akibat kepergian seniornya itu membawa Iqbal ke masalah lain. Ia merasa berkewajiban untuk menikahi Aisyah, tunangan Rahmat. Pasalnya, si almarhum memberinya pesan terakhir untuk menjaga Aisyah untuknya.
Buku terakhir dari trilogi perjalanan iman Iqbal ini di awal kisah terasa membosankan. Pembaca berkali-kali diajak untuk larut dalam kegalauan Iqbal mencari pendamping hidup. Kedewasaan Iqbal di buku-buku sebelumnya terasa mentah oleh sikap Iqbal yang hidupnya seolah-olah akan berakhir bila tidak segera menikah.
Beruntung pada dua pertiga buku Iqbal disadarkan oleh Aisyah dan Kiai Sepuh. Pernikahan bukan sekedar memenuhi sunnah rasul. Ada banyak hal yang harus diperhatikan, terutama niat dan kesungguhan untuk membangun rumah tangga. Pelajaran berharga bagi yang ingin mengikuti jejak Iqbal untuk segera membangun mahligai rumah tangga.