
Marah Rusli (1889-1968), nama sastrawan yang juga disebut sebagai Bapak Roman Modern Indonesia ini sangat dikenal melalui karyanya yang monumental yaitu novel Siti Nurbaya (1920). Novel roman ini menjadi salah satu icon sastra Indonesia dan menjadi salah satu bacaan wajib para siswa ketika mempelajari kesuasteraan Indonesia. Saking populernya novel ini sampai-sampai Siti Nurbaya menjadi idiom yang umum digunanakan masyarakat Indonesia untuk menyatakan pasangan yang dijodohkan orang tuanya secara paksa
Selain Siti Nurbaya karya-karya lainnya yang sudah diterbitkan yaituLa Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956), Gadis yang Malang, terjemahan novel karya Charles Dickens (1922). Selain keempat judul itu ternyata ternyata masih ada karya terakhir Marah Rusli yang masih berupa naskah dan belum pernah diterbitkan yaitu Memang Jodoh
Naskah Memang Jodoh yang merupakan novel autobiografis ini merupakan kado ulang tahun pernikahan ke 50 Marah Rusli dengan Rd. Ratna Kencana (2 November 1961). Naskah asli novel ini ditulis dalam huruf Arab Gundul lalu diketik dengan mesin tik manual dan rampung pada 1961. Naskah ini tersimpan rapih selama puluhan tahun karena memang Marah Rusli sendiri yang mengizinkan naskahnya ini diterbitkan setelah semua tokoh yang ada dalam novelnya inu meningga dunia. Dan untuk itu butuh 50 tahun lamanya sebelum akhirnya di bulan Mei 2013 yang lalu Memang Jodoh diterbitkan.
Seperti dalam novel Siti Nurbaya, dalam karya terakhirnya ini Marah Rusli kembali menggugat adat Padang dalam hal perjodohan terutama di kalangan kaum bangsawan. Namun kali ini bukan berdasarkan imajinasinya semata tetapi berdasarkan apa yang ia alami sendiri selama 50 tahun pernikahannya dengan istrinya, seorang gadis berdarah bangsawan Sunda.
Seperti dalam kehidupan aslinya dimana Marah Rusli adalah seorang keturunan bangsawan Padang maka dalam dalam novel inipun dikisahkan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Marah Hamli. Di awal novel dikisahkan Hamli yang baru saja lulus dari Sekolah Rakjat di Bukittinggi. Awalnya ayahnya menginginkan Hamli melanjutkan studi-nya ke negeri Belanda namun kepergian Hamli ini tidak diizinkan oleh ibunya karena khawatir anak semata wayangnya terpikat oleh gadis barat karena sebenarnya Hamli sudah akan dijodohkan dengan gadis Padang yang sepadan dengan dirinya.
Gagal berangkat ke Belanda, Hamli merantau ke Bogor ditemani neneknya. Di sana ia melanjutkan studinya ke sekolah pertanian di Bogor. Sebelum berangkat Hamli menyadari bahwa dirinya menderita sakit 'pilu' yang menyebabkan dia selalu merasa galau dan rindu akan sesuatu yang tidak dimengertinya.
Tadinya Hamli berharap dengan merantau di Bogor maka penyakit pilunya akan sembuh. Namun ternyata Hamli tidak juga kunjung sembuh hingga akhirnya ia bertemu dengan Din Wati, gadis Priangan berdarah biru yang menawan hatinya dan menyembuhkan penyakit pilu-nya. Hamli sadar bahwa cintanya terhadap Din Wati akan mendapat tantangan dari keluarganya karena hal itu melanggar adat Padang yang tidak mengizinkan pernikahan beda suku.
Namun hal ini tidak menghalangi Hamli untuk menikah dengan gadis pujaannya. Dengan didukung oleh neneknya dan restu dari ayahnya, apalagi setelah diyakinkan dengan dua buah ramalan bahwa perjodohan mereka sudah ditakdirkan oleh Tuhan Hamli nekad memutuskan untuk melanggar adat. Ia rela "dibuang" oleh kaum keluarganya demi cintanya pada Din Wati.
Walau kelak Hamli menikah dengan Din Wati, keluarga-nya di Padang tidak menyerah, demi kehormatan keluarga dan untuk mempertahankan adat Padang segala cara diupayakan keluarganya untuk meruntuhkan pernikahan Hamli dengan Din Wati mulai dari penggunaan ilmu hitam hingga memaksa Hamli untuk berpoligami, mengambil istri kedua yang berasal dari suku Padang dimana hal itu adalah sebuah kewajaran dan kehormatan bagi bangsawan Padang.
Begitu gencanya usaha yang dilakukan kaum keluarga Hamli di Padang untuk tetap menikahkannya dengan gadis Padang ditambah berbagai kesulian dalam rumah tangga Hamli yang datang silih berganti membuat Hamli bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ini akibat dari perbuatannya yang melanggar adat leluhurnya? Sanggupkah Hamli tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak berpoligami dan mempertahankan pernikahannya dengan istri yang yang dicintainya?
Lika-liku kehidupan Hamli dan perjodohannya memang sangat menarik untuk disimak. Di novel ini kita tidak hanya disuguhkan sebuah drama pernikahan Hamli dan Din Wati beserta intrik-intrik yang dilakukan keluarganya untuk menghancurkan pernikahan Hamli namun kita juga diajak menyelami adat Padang yang begitu keras mengatur perjodohan dan pernikahan yang merupakan hak mutlak orang tua.
Dan bagaimana jika si anak tidak mau menuruti perjodohan yang diatur oleh orang tuanya?
Mengapa demikian kerasnya orang Padang mengatur hal-hal yang menyangkut perjodohan, rupanya inilah alasannya. ;
lebur dalam bangsa campuran"
(hlm 367)
(Sumber foto : Memang Jodoh, Qanita, 2013)
Masih banyak hal menarik dalam novel ini yang bisa kita pelajari, lewat tokoh Hamli penulis menyampaikan kritik yang tajam terhadap adat Padang yang demikian keras dalam menentukan jodoh bagi kaumnya karena baginya hal tersebut sudah tidak sesuai dengan jaman yang telah berubah. Selain itu kita juga akan melihat bagaimana Hamli begitu teguh dan keras menentang poligami dengan cara yang santun
Tidak hanya adat Padang di novel ini juga kita melihat bagaimana orang Sunda juga mengatur perjodohan bagi anak-anaknya walau tidak sekeras orang Padang dan bagaimana orang Sunda yang diwakli oleh Din Wati dan saudara-saudaranya melihat Padang itu sebagai 'tanah seberang', sebuah tempat yang menakutkan bagi perempuan Sunda.
Selain itu karena novel ini berdasarkan apa yang dialami oleh penulisnya maka peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada 1919 yang menelan ribuan jiwa itu terekam dalam novel ini karena pada saat itu penulis kebetulan sedang tinggal dan bekerja di Blitar bersama istri dan anak-anaknya. Hanya saja ada perbedaan mengenai jumlah korban jiwa. Wikipedia mencatat letusan Gunung Kelud tahun 1919 menelan 5.160 jiwa, sedangkan novel ini menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi.
(hlm 434)
Dari semua kisah yang tertuang dalam novel ini tentunya ada banyak hal yang dapat kita ambil dari novel ini. Dengan setting kehidupan dan adat masyarakat Minang di masa lampau novel ini juga dapat menjadi sumber yang berharga ketika kita ingin memahami bagaimana kultur budaya dan adat Minang yang begitu mengikat dan mempengaruhi kehidupan masyarakatnya di masa lampau dan hingga kini masih terasa jejak-jejaknya walau sudah tergerus arus zaman dan waktu.
Walau Novel Memang Jodoh ditulis lebih dari 50 tahun yang lampau dengan cita rasa bahasa dan kosakata lama termasuk pantun, peribahasa, dan beberapa perumpamaan melayu yang disisipkan dalam novel ini namun novel ini masih sangat nyaman dibaca di masa kini bahkan cita rasa bahasa lamanya lah yang membuat novel ini menjadi begitu sesuai dengan setting kisahnya sehingga kita seakan terlempar ke awal abad ke 20
Dan yang juga menjadi keistimewaan novel ini, seperti yang diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsment-nya jika biasanya kisah sastra berlatar belakang Minang selalu mengetangahkan konflik antara adat dan agama, tidak demikian dengan novel ini karena yang dipertentangkan adalah konflik antara adat versus kemerdekaan individual. Perjuangan seorang tokoh yang berjuang membebaskan dirinya dari adat yang membelenggu kebebasan individunya dalam mencari dan memilih pasangan hidupnya.
Akhir kata ada banyak hal yang dapat kita petik dari novel ini, namun yang pasti inilah yang menjadi tujuan utama Marah Rusli menulis Memang Jodoh yang diwakili oleh tokoh Marah Hamli dalam pidatonya kepada anak cucu dan keluarganya di hari ulang tahun pernikahannyya
"Niatku semata-mata ingin mengingatkan kepincangan-kepincangan pelaksanaan adat istiadat, yang tak baik lagi dipertahankan, bahkan seharusnya sudah sejak dulu diperbaiki, diganti, sehingga dapat disesuaikan dengan zaman yang telah beralih dan masa yang telah berubah. Agar mereka selamat di tengah arus pergaulan dunia yang luas seperti kaum-kaum lain yang lebih dulu maju. Semoga penderitaan dalam rumah tangga kami, menjadi peringatan dan penyuluh dalam perkawinan mereka, yang penuh karunia, rahmat, dan nikmat dari Tuhan.Amin!."
@htanzil