
Kita harus semangat buat ngeraih apa yang kita impikan. (hlm. 185)
NATHAN. Berbeda dengan remaja seumurannya yang mulai terbuai dengan manisnya cinta pertama atau yang sering disebut cinta monyet, cowok itu sama sekali tak punya pikiran untuk berpacaran. Naksir seseorang sih pernah. Tapi untuk pacaran, tidak sama sekali. Anti mainstream? Itulah Nathan, begitu dia biasa dipanggil.
Nathan punya prinsip kalau masa SMA harus dimanfaatkan untuk meraih mimpi. Masa SMA baginya sebisa mungkin digunakan untuk menentukan pilihan yang tepat akan masa depan setelah itu. Dan Nathan telah menentukan pilihannya.
Menjadi penulis novel fantasi Indonesia yang best seller, itu mimpi besar yang sedang dirintis Nathan. Dia ingin bisa menulis seperti J.K. Rowling, penulis favoritnya. Penulis yang mampu membuatnya mengilai baca karena Harry Potter. Penulis yang juga menginspirasinya untuk bisa menulis sebaik dan sekeren itu.
Baginya, menulis memberikan petualangan yang tak bisa dia dapatkan dari aktivitas lain. Merasakan apapaun yang dikhayalkannya. Saat menulis, dia menjadi raja untuk ceritanya. Namun saat menulis juga, sesekali dia teringat betapa Papa dan Mama seperti menentang keinginannya untuk menekuni bidang itu.
Kalau soal bicara soal kemampuan, Nathan tak meragukan kemampuannya untuk menggeluti bidang lain nantinya. Papa bahkan sudah menyiapkan banyak referensi universitas di luar negeri untuknya. Toh segala sesuatu bisa dipelajari, kan? Tapi ini buka hanya tentang bisa atau tidak. Ini tentang mana yang lebih dia cintai. Ini tentang mana yang membuat Nathan merasa lebih hidup.
“Usia sepertimu selalu punya kemauan keras untuk meraih suatu hal. Yah, terkadang beberapa kemungkinan malah diabaikan. Sindrom darah muda.” (hlm. 12)
“Bukan maksud mama meragukan pilihan kamu. Mama hanya inginkamu punya pilihan lain, di samping menulis. Setidaknya kamu tidak menggantungkan hidupmu hanya dari menulis, yang Mama pikir masih belum jelas.” (hlm. 14)
“Kamu masih punya waktu yang cukup untuk berpikir. Apa pun pilihanmu kelak, Papa dan Mama akan mendukung. Tentunya kewajiban Papa dan Mama tak hanya mendukung, tapi ikut mengarahkanmu. Yah, setidaknya Papa pernah melewati umur 17, 18, 19, 20 dan seterusnya yang belum pernah kamu lalui.” (hlm. 15)
Nathan merupakan representasi ababil saat melewati masa-masa umur belasan. Merasa yakin dengan pilihannya sendiri dan mengabaikan nasehat orang tua. Banyak, banyak ababil yang seperti itu. Apalagi musim kelulusan pasca UN seperti sekarang ini. Banyak sekali murid unyu yang galau dengan pilihan kuliahnya nanti. Mau mengikuti jejak orang tua tapi bukan bidang yang diminatinya atau nekat memilih jurusan yang diinginkan tapi tidak direstui orang tua. Memang sungguh dilema. Sebenarnya sederhana sekali penyelesaiannya. Duduk bersama orang tua, bicara baik-baik dan yakinkan mereka jika pilihan yang diambil tidak salah. Dan yang pasti jangan pakai emosi dan merasa paling benar. Percayalah, tidak ada orang tua yang mau menjerumuskan anaknya sendiri. Memang terkadang juga cara mereka kurang tepat dengan keinginan hati sang anak.
Beberapa kalimat favorit:
- Perlu perjuangan buat dapetin sesuatu yang kita mau. (hlm. 92)
- Masih banyak hal penting yang mesti lo pikirin. Urusan cinta lo buang jauh-jauh, deh. Pikirin mimpi lo aja. (hlm. 128)
- Kebanyakan orang selalu mikir ribet untuk ngelakuin sesuatu yang bermanfaat buat orang lain, padahal untuk kesenangan mereka sendiri tanpa perlu mikir langsung dilakuin. (hlm. 149)
- Kenapa sih, cewek gampang banget kemakan omongan cowok? Digombalin dikit aja banyak yang klepek-klepek. Belum lagi kalau dibaikin, pasti ngiranya si cowok ngasih harapan ke si cewek. (hlm. 158)
- Keyakinan lo bakal sia-sia kalau nggak mau usaha untuk ngeraihnya. Tapi, yang paling rugi adalah orang yang nyerah duluan dan yang putus asa, yang nggak mau mencoba lagi. (hlm. 165)