Quantcast
Channel: Resensi Terbaru
Viewing all articles
Browse latest Browse all 742

Paper Towns

$
0
0
Paper Towns : Kota Kertas

Kita tak mungkin bisa memahami orang lain sepenuhnya. (hm. 344)

 

Adalah Quentin. Dari kecil, bertetangga dengan Margo. Orangtua mereka bersahabat, maka mereka kadang-kadang main bersama sejak kecil, bersepeda melewati jalan-jalan kuldesak menuju taman Jefferson Park, penghubung bagi area subdivisi tempat tinggal mereka.

Quentin selalu gugup setiap mendengar Margo akan muncul, mengingat dia adalah mahluk paling rupawan yang pernah diciptakan Tuhan. Hingga suatu hari di usia mereka yang ke sembilan, ketika mereka berada di area bermain ada seorang laki-laki berstelan jas kelabu bersandar di batang pohon ek. Tak bergerak. Dia dikelilingi darah; air mancur setengah kering tumpah dari mulutnya. Mulut itu terbuka dengan cara yang seharusnya tidak bisa dilakukan mulut. Lalat-lalat hinggap di dahi pucatnya.

“Mungkin semua senar dalam dirinya putus.” (hlm. 15)

Kedua orangtua Quentin adalah ahli terapi, mereka memahami bagaimana membesarkan anak hingga Quentin tumbuh nyaris tanpa cela.

Seperti buku sebelumnya, tokoh utamanya si cowok selalu nerd atau semacam geek gitu deh. Anak baik-baik, hanya punya segelintir teman, hidupnya nyaris datar dan di masa remaja hidupnya jungkir balik menemukan sensasi merasakan kenakalan remaja. Bahkan Quentin ini tiap berangkat ke sekolah masih diantar oleh ibunya x)

Kejadian tadi di umurnya saat berumur sembilan tahun bukan terakhir kalinya dia bermain-main dengan Margo. Hingga saat mereka remaja, di suatu malam, sekita pukul sembilan malam (Yeah, Quentin anak baik-baik banget kan, jam sembilan udah siap-siap bobo cantik :p), Margo menemuinya dengan cara mengendap-ngendap ke kamarnya. Margo memaksanya untuk ikut dalam melancarkan misi sebelas babak. Apa sajakah babak-babak tersebut? Apakah menegangkan? Baca aja sendiri :D #DikeprukYangPenasaran

“Margo menyukai misteri sejak dulu. Dan dalam semua hal yang terjadi setelahnya, aku tidak pernah bisa berhenti berpikir bahwa jangan-jangan lantaran terlampau menyukai misteri, dia pun menjadi misteri.” (hlm. 15)

Dibandingkan buku-buku sebelumnya yang John Green tulis, buku yang saya baca kali ini ada aura-auar detektifnya dan pastinya bikin penasaran. Jadi setiap membalik satu halaman, rasanya nggak sabar buat baca halaman selanjutnya. Hanya saja, jenis fontnya kecil-kecil dan halamannya lumayan tebal, jadi berasa capek juga bacanya.

Kita tidak hanya menelusuri kehidupan Quentin si tokoh utama, tapi juga kehidupan Margo. Oya, Margo ini sifatnya mirip Alaska di bukunya John Green yang sebelumnya saya baca; Looking for Alaska. Margo dan Alaska sama-sama suka menimbun buku di kamar. Cek aja di halaman 195-201. Duhhh…rasanya pengen toss ama Margo ama Alaska juga, sebelas dua belas gitu deh kita bertiga sesama penimbun… :D #dikepruk

Hanya menemukan beberapa kalimat favorit:

  1. Kita mengatakan apa yang dirasakan seseorang agar mereka merasa dipahami. (hlm. 117)
  2. Tidak ada yang pernah terjadi sesuai dengan yang kita bayangkan. (hlm. 344)

Banyak sindiran halus dalam buku ini:

  1. Tidak ada ruginya pergi bersama seorang teman. (hlm. 20)
  2. Tidak ada satu pun tentang prom yang menarik. (hlm. 24)
  3. Kuliah: diterima atau tidak. Masalah: terlibat atau tidak. Sekolah dapat A atau dapat D. Karier: punya atau tidak. Semua itu membosankan. (hlm. 43)
  4. Menurutku konyol orang hanya mau berada di dekat seseorang karena mereka cantik. (hlm. 48)
  5. Semua orang menjadi sinting oleh kegilaan memiliki sesuatu. (hlm. 69)
  6. Seseorang pasti penting jika mempunyai musuh. (hlm. 71)
  7. SMA bukanlah sebuah demokrasi atau kediktatoran. SMA adalah monarki berdasarkan kehendak Tuhan. (hlm. 109)
  8. Jangan pernah bekerja untuk pemerintah. Sebab ketika bekerja untuk pemerintah, kau bekerja untuk masyarakat. (hlm. 119)

Ada beberapa hal yang unik dalam buku ini. Ketika menghilang, Margo meninggalkan jejak lewat potongan-potongan puisi seperti ini:

Oya, jika dalam buku An Abudance of Katherine kita akan menemukan keunikan analogi cinta lewat diagram Matematika. Di buku ini lain lagi John Green memesona kita lewat metafora:

“Kalau kau memilih senar, artinya kau membayangkan dunia di mana kau bisa pecah tanpa dapat diperbaiki lagi. Kalau kau memilih rerumputan, kau mengatakan kita semua terhubung, bahwa kita bisa memanfaatkan sistem akar itu bukan hanya untuk memahami satu sama lain tapi juga menjadi satu sama lain. Metafora itu memiliki implikasi.” (hlm. 346-347)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 742