
Hidup tanpa mimpi takkan ada artinya. Apalagi bagi tiga pelajar miskin, Arai, Ikal dan Jimbron. Mereka rela bekerja mulai dini hari dan selepas sekolah demi mengejar mimpi. Apakah mimpi itu tercapai atau tidak itu urusan belakangan.
Mimpi tiga remaja ini bukan impian sederhana. Jimbron terobsesi pada kuda yang menjadi barang langka di kampungnya yang masuk wilayah Belitung. Sementara Ikal dan Arai bercita-cita melalang buana ke Perancis hingga Afrika. Cita-cita yang sepertinya muskil itu digelorakan oleh Pak Balia, kepala sekolah sekaligus guru bahasa mereka.
Menggapai cita-cita itu ternyata tidak mudah. Susah payah mereka mengumpulkan duit yang tak seberapa dari membantu nelayan hingga menjadi caddy (pengambil bola di lapangan golf). Terkadang mereka ragu-ragu dan merasa putus asa. Hingga muncul suatu momen yang kembali membangkitkan asa mereka.
Kisah “Sang Pemimpi” merupakan kelanjutan “Laskar Pelangi”. Di sini tidak akan pembaca temui si Lintang, si Mahar atau si Kucai yang menjadi sahabat masa kecil Ikal. Kali ini tokoh utamanya dua teman sekamarnya, Jimbron yang anak asuh seorang pendeta dan Arai yang masih termasuk saudara sepupu.
Di buku ini Ikal telah duduk di bangku SMU. Ia telah memasuki fase kedewasaan begitu pula kedua sahabatnya. Tidak heran bila Ikal mulai menyukai lawan jenis. Begitu pula ketika sebuah bioskop menayangkan film murahan, mereka tergoda untuk menontonnya yang berakhir dengan hukuman dari pihak sekolah.
Ikal tetap cerdas dan rajin bekerja seperti dahulu. Juga tetap kocak. Ia sukarela menemani Arai berkonsultasi dengan penyanyi dangdut tentang masalah cintanya yang tertolak.
Meski dinasbihkan sebagai buku kedua dari tetralogi, ada sesuatu yang janggal atau tidak konsisten. Di buku ini dituturkan bila Arai hidup dengan keluarga Ikal sejak usia delapan tahun. Namun, di buku pertama tidak ada satupun yang menyebut-nyebutnya. Ataukah mereka berbeda sekolah? Bisa jadi.
Di luar itu, buku ini menggugah semangat agar tetap memiliki mimpi dan berupaya keras menggapai impian tersebut.