Quantcast
Channel: Resensi Terbaru
Viewing all articles
Browse latest Browse all 742

Di Bawah Naungan Cahaya-Mu - Review

$
0
0
Di Bawah Naungan Cahaya-Mu

Cinta itu seperti cahaya yang berharga di tengah dunia yang galau. (hlm. 92)

 

Cinta itu memang fitrah, tetapi jika bukan pada tempat dan saat yang tepat, ia harus rela menunggu hingga waktu itu tiba. (hlm. 99)

Cinta memang gaib. Walaupun ia tidak tampak dan tidak berwujud, kehadirannya mampu membuat orang saling memandang dengan cara yang indah. Itulah yang dialami Adelia yang masih duduk di bangku putih abu-abu. Di umurnya yang masih belia, dia harus menerima beban hidup yang berat. Ibunya yang memutuskan untuk meninggalkan Bapak dan dirinya. Mungkin tidak sepenuhnya meninggalkan dirinya. Namun, ia masih ragu apakah hatinya masih bisa bertaut mesra setelahapa yang dilakukan ibunya kepadanya dan Bapak.

Apakah ini menunjukkan bahwa cinta ibunya sedang basi? Kepadanya dan juga kepada Bapak. Tidak bisakah dihangatkan kembali hingga gaibnya rasa cinta yang pernah ada itu muncul kembali?

Cinta memang sulit untuk dimengerti, tetapi tanpa cinta, manusia tidak akan menikmati indahnya hidup. Adelia yakin itu sehingga ia merasa cintanya kepada Ibu tidak akan pernah basi, begitu juga sebaliknya. Entah cinta antara Bapak dan Ibu, mengapa harus ada yang memudar di antara keduanya. Sekali lagi entah, hanya Tuhan yang akan campur tangan.

Saat ini cinta hadir pada waktu dan orang yang belum tepat. Ia belum mengerti. Mengapa cinta itu tidak mampu hadir kembali di antara yang benar-benar membutuhkan kehadirannya? Di anatara Bapak dan Ibu?

“Bertengkar terus setiap hari. Itu kan berarti hatinya panas, ndak tenang. Kemrusngsung tho?” (hlm. 28)

“Kalau Bapak minta sama Tuhan supaya ibumu dikembalikan lagi bisa ndak, ya? Bisa to? (hlm. 84)

Tuntutan ekonomi salah satu hal yang memicu keretakan rumah tangga. Itulah yang dialami keluarga Adelia. Ibunya bekerja di salon, sementaranya bapaknya buruh yang sering menghabiskan uang dan waktunya untuk mabuk-mabukkan. Adelia yang pintar, tak sebanding dengan kehidupannya di rumah.

Untuk mengusir kepedihan hidupnya itu, Adelia selalu belajar di atas genting. Tidak sedikit yang menganggapnya aneh, bahkan sahabatnya sendiri. Bagi Adelia, bulan adalah sahabat sejatinya. Bulan adalah satu-satunya yang paling setia mendengarkan keluh kesahnya, termasuk permasalahan keluarganya yang tak kunjung usai. Sebenarnya ada satu lagi peran bulan yang dianggapnya akan mempertemukan seseorang yang dirindukannya saat masa kanak-kanak. Apakah seseorang itu juga melakukan yang sama seperti yang Adelia lakukan?

“Selama seseorang itu belum kembali, aku anggap Bulan sebagai penggantinya.” (hlm. 24)

“Memang, aku enggak salah kalau ngungkapin perasaanku ke kamu. Perasaan sukaku ke kamu itu wajar, kan? Dan enggak salah. Yang bikin salah itu kalau aku maksa juga punya perasaan sama kayak perasaanku.” (hlm. 129)

Banyak kalimat favorit yang bertabura dalam buku ini:

  1. Kesedihan itu bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagi dengan teman yang peduli. (hlm. 49)
  2. Hidup terus berjalan. (hlm. 65)
  3. Tuhan ngelihat terus apa yang kita lakukan. Tuhan enggak pernah absen ngawasin kita. (hlm. 66)
  4. Tidak ada yang lebih indah selain mendapatkan kehangatan dari seseorang yang paling dicintai kala diri sedang disapa pedih, ada rasa hangat dan nyaman. (hlm. 73)
  5. Tuhan pernah bilang, shalatlah semampumu, berbuat baik semampumu, beribadah itu semampumu saja. (hlm. 81)
  6. Memangnya apa ukuran romantis? (hlm. 102)
  7. Kita memang hidup dengan masa lalu. Tapi kita enggak akan bisa terus berdiri dalam masa lalu itu. Kita harus maju melangkah. (hlm. 119)
  8. Apakah semua harus selalu dijelaskan? Apakah semua tidak bisa berjalan hanya dengan dipahami dengan cara masing-masing saja? (hlm. 121)
  9. Kenapa cinta itu hadir pada waktu dan tempat yang tidak tepat ya? (hlm. 124)
  10. Ikhlas pakai jibabnya memang niatnya cuma buat Allah, bukan karena orang lain. (hlm. 128)
  11. Cinta, kan, enggak dipaksa, ya? (hlm. 136)
  12. Orang sakit tidak perlu dihibur dengan air mata cemas. Tawa dan kunjungan orang terdekatlah yang paling dibutuhkan. (hlm. 180)

Banyak juga sindiran halus dalam buku ini:

  1. Masuk ke sebuah jurusan tidak ditentukan orang itu suka merenung atau tidak, bukan? (hlm. 20)
  2. Kalau mau ngingetin orang, dirinya sendiri diperbaiki dulu. (hlm. 25)
  3. Tidak adakah pekerjaan yang lebih penting lainnya yang bisa dilakukan orang-orang selain membicarakan orang lain? (hlm. 86)
  4. Tegas kalau menyakiti orang lain buat apa? Lunak, tapi kalau membuat orang lain tidak mengerti juga buat apa? (hlm. 97)
  5. Semua ka ada prosesnya. Hidayah itu dicari, bukan ditunggu. (hlm. 128)
  6. Kalau ditolak cintanya itu pasti sakit, ya, rasanya? (hlm. 152)

Novel yang mengangkat tema keluarga selalu lebih mengiris hati daripada novel romance. Kita bisa mengambil hikmah baik kisah Adelia yang dengan segala kekurangannya tapi tetap sabar menghadapi hidup dan Bagus yang tekun belajar demi mewujudkan perjuangannya untuk menjadi dokter dan cita-citannya yang lama; kembali ke kampung halaman.

Kita juga bisa mengambil hikmah dari kisah bapak dan ibu Adelia, betapa membentuk rumah tangga yang bahagia tidak cukup dengan materi, karena kebahagiaan yang sesungguhnya adalah menerima dan menysukuri segala sesuatu yang telah diberikan kepada-Nya untuk kita.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 742